Anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) memiliki ciri-ciri emosi yang khas, seperti kecenderungan untuk bersikap reaktif dan menunjukkan emosi yang berlebihan atau sensitif. Perbedaan gejala ADHD pada laki-laki dan perempuan sering kali dipengaruhi oleh tuntutan sosial. Pada perempuan, gejala ADHD dapat lebih tersamarkan (masking) karena tekanan sosial untuk tampil lebih tenang atau teratur. ADHD merupakan kondisi di mana emosi anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usianya, dengan impulsivitas yang tinggi dan dampak negatif pada aktivitas sosial. Impulsivitas ini ditandai dengan tindakan tergesa-gesa tanpa berpikir matang, yang kadang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Gejala lain yang umum ditemukan pada anak dengan ADHD mencakup keluhan inatensi, seperti kesulitan menyelesaikan tugas meski awalnya bersemangat, mudah terdistraksi, sulit mengikuti instruksi, kurang fokus pada hal-hal yang tidak diminati, dan ketidakmampuan mengorganisir. Gejala ini sering kali lebih minim ketika anak berinteraksi dengan satu orang, tetapi menjadi lebih nyata dalam situasi ramai, seperti di kelas. Selain itu, anak dengan ADHD cenderung hiperaktif, terutama saat tidak ada kegiatan yang menarik perhatian mereka. Mereka mungkin menggoyangkan kaki, mengetuk meja, atau menunjukkan tanda-tanda gelisah. Pada beberapa kasus, anak dengan ADHD mengalami keterlambatan bicara, meskipun ada pula yang justru sangat cerewet. Ketika memasuki masa remaja atau dewasa, mereka sering kali mudah cemas, dengan hiperaktivitas yang tidak hanya tampak dalam perilaku tetapi juga dalam pola pikir mereka.
Tantangan Regulasi Emosi pada Anak dengan ADHD
Salah satu tantangan utama yang dihadapi anak dengan ADHD adalah regulasi emosi yang buruk. Hal ini membuat mereka sulit menunda kepuasan, sehingga lebih rentan mengalami kekecewaan atau frustrasi. Anak-anak ini juga cenderung merasa sangat baper (bawa perasaan) ketika tidak diterima oleh teman-temannya. Dalam situasi sosial, mereka sering kali menghadapi kesulitan mengelola emosi, yang dapat memperburuk hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi menjadi sangat penting untuk membantu anak dengan ADHD, mengingat sistem saraf mereka yang berbeda. Tindakan impulsif mereka bukanlah sesuatu yang sepenuhnya berada dalam kendali mereka.
Regulasi emosi yang buruk juga memengaruhi cara mereka berkomunikasi. Anak dengan ADHD cenderung lebih mudah mendengarkan jika penyampaian dilakukan dengan nada yang lembut dan penuh perhatian, disertai dengan kontak mata. Strategi ini dapat membantu mereka merasa lebih tenang dan lebih mudah memahami arahan. Dengan pendekatan yang tepat, anak-anak ini dapat belajar mengelola emosi mereka lebih baik, meningkatkan kemampuan mereka untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan sekitarnya.
Strategi Melatih Regulasi Emosi
Salah satu cara yang efektif untuk membantu regulasi emosi individu dengan ADHD adalah melalui konseling berkala dengan psikolog yang cocok. Konseling ini tidak hanya membantu mereka mengelola emosi, tetapi juga mengatasi gangguan kecemasan (anxiety disorder) yang sering menyertai ADHD. Kondisi ini juga memiliki keterkaitan dengan gangguan bipolar, sehingga penanganan yang tepat melalui konseling sangat diperlukan untuk mencegah memburuknya gangguan kesehatan mental lainnya.
Selain konseling, orang tua memegang peranan penting dalam mendukung anak dengan ADHD. Penting bagi orang tua untuk mengenali hal-hal yang dapat memicu kecemasan atau tantrum pada anak. Misalnya, jika anak menjadi tantrum ketika lapar, orang tua dapat menyiapkan camilan saat bepergian. Atau, jika anak tidak menyukai tempat ramai yang dapat memicu kecemasan, orang tua dapat memilih waktu dan lokasi yang lebih tenang untuk beraktivitas bersama anak. Anak dengan ADHD juga sering membutuhkan “double body,” yaitu seseorang yang dapat mendampingi dan mengarahkan mereka saat melakukan aktivitas tertentu. Dengan dukungan yang konsisten dari keluarga dan profesional, anak dengan ADHD dapat lebih baik dalam menghadapi tantangan sehari-hari.
Bentara Campus menawarkan program studi Konseling Terapan yang dirancang untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan mendalam dalam memberikan intervensi kepada anak atau individu yang menghadapi tantangan dalam regulasi emosi.