Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang diakses pada 8 September 2024, tercatat sebanyak 17.238 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 7.933 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual, 5960 kasus kekerasan fisik, dan 5130 kekerasan psikis. Sisanya merupakan kekerasan bentuk lain seperti penelantaran, eksploitasi, perdagangan, dan berbagai kekerasan lain.
Hasil penelitian menunjukkan kekerasan banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang tidak matang secara emosi, padahal seharusnya mereka bisa menjadi pelindung bagi anak tersebut. Dari penelitian salah satu pemicu utama peningkatan kasus kekerasan ini adalah ketidakmampuan banyak individu dalam menyaring konten pornografi yang mereka konsumsi dari media sosial secara bijak. Paparan konten tersebut merusak kepekaan terhadap batasan moral, membuat mereka kehilangan empati dan tak lagi mampu membedakan antara perbuatan yang benar dan salah. Banyak kasus menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan sering kali merasa bangga akan perbuatannya, bahkan dengan penuh percaya diri menceritakannya kepada teman-teman mereka. Alasan kedua yaitu masih banyak nya pandangan keliru yang menempatkan perempuan dan anak hanya sebagai objek.
Bukan hanya orang dewasa yang dapat menjadi pelaku kekerasan seksual; ironisnya, anak-anak pun terlibat dalam tindakan kekerasan ini. Seringkali, perilaku ini dipicu oleh lingkungan dan pola asuh yang kurang tepat dari orang tua. Anak-anak yang mengalami kekerasan di rumah atau yang kurang mendapatkan validasi emosional cenderung mencari pengakuan tersebut dari teman sebaya mereka, yang dapat mendorong perilaku kekerasan.
Kekerasan seksual pada anak berdampak sangat serius terhadap kesehatan mental mereka, bahkan dapat menimbulkan kecenderungan perilaku kekerasan di masa dewasa. Anak-anak yang mengalami kekerasan ini seringkali menunjukkan perubahan drastis dalam perilaku, seperti menjadi lebih pendiam, murung, nakal, atau sering menangis tanpa alasan yang jelas. Trauma yang ditinggalkan tidak hanya merenggut rasa percaya diri mereka, tetapi juga menghancurkan rasa aman dan harapan positif akan masa depan.
Gejala-gejala ini memerlukan penanganan yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Di sinilah peran konselor menjadi krusial, untuk memastikan setiap anak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan agar kelak tidak tumbuh menjadi pelaku kekerasan seksual. Konselor berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, di mana anak-anak dapat dengan bebas mengekspresikan perasaan dan pengalaman mereka tanpa rasa takut dan malu. Selain itu, konselor akan memberikan intervensi terkait pendampingan dan pemulihan gangguan mental, emosi, dan perilaku pada anak menggunakan pendekatan play therapy, creative art, dan storytelling.
Seorang konselor memiliki sertifikat dan kualifikasi akademik di bidang konseling terapan. Maraknya kasus-kasus kekerasan pada anak sejatinya membutuhkan peran konselor, baik bagi korban guna pemulihan, maupun membantu mendampingi dan memberikan konseling bagi pelaku terutama kalangan anak dan remaja.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/09/08/kekerasan-seksual-pada-anak-marak-apa-yang-sebenarnya-terjadi?open_from=Section_Berita_Utama