Mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak setiap anak, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sayangnya, tidak semua dari mereka mampu mengakses pendidikan karena berbagai faktor. Maka itu, dibutuhkan pendidikan inklusi supaya hak ABK dalam pendidikan dapat terpenuhi.
Pendidikan inklusi adalah penyelenggaraan pendidikan, yang memberikan kesamaan akses dan kesempatan kepada semua peserta didik, untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Definisi tersebut sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003, yang mengatur bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Sebenarnya, pelaksanaan pendidikan inklusi bukan hanya perihal hak mengakses pendidikan yang layak. Di balik itu, tujuan pendidikan inklusi adalah meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, membentuk lebih banyak sumber daya potensial di masyarakat, dan mendorong setiap orang untuk menghargai keberagaman.
Namun, realitasnya belum sejalan dengan UU maupun tujuan tersebut. Terdapat berbagai hambatan dan masalah pendidikan inklusi di Indonesia, membuat penyelenggaraannya sulit tercapai.
Dalam risetnya, peneliti Rizka Ramadhana menjelaskan beberapa hambatan penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Hambatan yang pertama adalah tenaga pengajar atau guru, yang berperan penting dalam melatarbelakangi pendidikan inklusi.
Sementara realitasnya, guru belum memiliki pengetahuan maupun keterampilan mumpuni dalam menangani ABK. Selain belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK, belum terdapat kejelasan aturan tentang peran, tugas, dan tanggung jawab setiap guru.
Hambatan yang kedua, merupakan terbatasnya sarana dan prasarana yang baik. Hal ini berkaitan dengan faktor biaya, karena diperlukan anggaran lebih besar untuk memfasilitasi kebutuhan ABK yang beragam.
Misalnya alat bantu dengar, buku timbul, dan lainnya yang harus disesuaikan dengan kondisi ABK. Karena itu, keterbatasan sarana dan prasarana memengaruhi kemampuan sekolah dalam melayani dan mendampingi ABK, sehingga kegiatan belajar mengajar belum dapat dilakukan maksimal.
Hambatan mencapai pendidikan inklusi yang ketiga datang dari rendahnya kesadaran orang tua, dan masyarakat terhadap ABK.
Orang tua yang tidak mendukung pendidikan inklusi dapat memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku anaknya secara negatif. Sementara ABK akan mencapai potensi maksimalnya, apabila orang tua memberikan dukungan penuh.
Misalnya dukungan dari ibu, membuat anak merasa dirinya berharga. Atau dukungan dari ayah dapat mengembangkan potensi anak.
Selain orang tua, masyarakat juga berperan penting dalam menangani ABK. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan lingkungan terdekat yang punya peranan penting. Dengan menerima dan memberikan dukungan, ABK akan lebih berkembang.
Sayangnya, saat ini orang tua masih ragu menyekolahkan anaknya dengan berbagai alasan. Seperti khawatir anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran, dan menghadapi diskriminasi.
Di samping itu, masyarakat pun kerap membedakan ABK dengan anak lainnya yang dianggap normal. Perilaku ini merupakan tindakan diskriminatif yang menghambat ABK.
Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan untuk mencapai pendidikan inklusi.
Pertama, mengembangkan kemampuan dan model mengajar guru lewat pelatihan. Pelatihan tersebut dapat membantu guru untuk memiliki sikap yang lebih positif terhadap ABK.
Kedua, memenuhi keterbatasan sarana dan prasarana sekolah. Hal ini menjadi peran pemerintah, untuk memberikan bantuan dana guna mendukung penyediaan fasilitas. Harapannya, ABK pun dapat belajar dengan baik dan mengembangkan kemampuannya.
Ketiga, memberikan wawasan tentang hak setiap anak dalam belajar—termasuk ABK, pada orang tua dan masyarakat. Melansir penelitian yang sama oleh Rizka Ramadhana, sikap orang tua berubah setelah menerima sosialisasi dari pihak sekolah tentang pendidikan inklusif. Selain itu, mereka juga memahami prinsip keragaman kebutuhan belajar anak.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat memiliki pandangan yang adil untuk ABK.